Thursday, February 12, 2015

PENJUAL JAMU NOMADEN Oleh: Bekti Ramadhani



Gemericik air hujan gerimis serasa membangunkan Bi Inem seorang penjual jamu gendong yang sedang tertidur lelap. Sumilir lembut sepoi angin terasa begitu dingin masuk ke dalam pori-pori kulit. Sunyi sepi gelap malam terasa sangat mencekam. Tiba-tiba ia tertuju pada jam dinding di kamarnya yang menunjukkan pukul 03.00. Dengan segera ia bangun dan mempersiapkan bahan-bahan minuman jamu yang akan dijual pagi-pagi nanti. Dia menumbuk sendiri kunyit, kencur, asem, daun sambiloto, dan beras. Dengan cepat ia persiapkan semua itu, mungkin sudah terbiasa sehingga dengan lihai ia mempersiapkannya.
Sudah lama sebenarnya Bi Inem menekuni profesi ini. Hal itu dilakukan oleh Bi Inem setiap hari demi keluarganya. Suaminya telah meninggal dunia dua tahun yang lalu karena penyakit kronis. Sehingga ia harus berusaha keras untuk mencukupi kebutuhan keluarganya serta sekolah anaknya. Anaknya hanyalah satu, tetapi untuk menyekolahkannya Bi Inem harus utang ke sana kemari. Untuk makan pun hanya ala kadarnya. Apabila jamunya laris terjual ia bisa makan nasi disertai lauk-pauk, kalo tidak begitu laris ia hanya makan nasi ditemani dengan kerupuk. “Jaman sekarang memang angel jualan jamu, belum lagi kalo ada minuman jamu bersegel yang dikemas apik agar diserbu pembeli”, kata Bi Inem. Tentu saja penghasilan Bi Inem berkurang, tidak seperti waktu sebelum ada teknologi canggih seperti sekarang. Dalam berjualan jamu ia diwarisi oleh Ibunya yang dulu berjualan, dan setelah meninggal Bi Inem yang menggantikannya berjualan. Sekarang Bi Inem semakin hari semakin tua, dalam berjualan pun harus bermata empat karena sudah plus.
Setelah jamunya telah selesai ia persiapkan, Bi Inem beranjak untuk membuatkan sarapan untuk anak semata wayangnya yang akan dibuat sarapan nanti. Ia menanak nasi dan menggorengkan anaknya sebutir telur, dengan harapan anaknya suka. Kemudian ia membangunkan anaknya, dengan lembut penuh kasih sayang.
"Nak, Ibu pamit ya?” kata Bi Inem.
Dengan mata yang kemerah-merahan Lika anak Bi Inem bangun. Sembari menjawab, “hati-hati di jalan ya Bu, semoga dagangannya laris.”
“Iya nak, semoga saja. Itu Ibu udah siapin sarapan buat kamu sebelum berangkat sekolah nanti.”
“Amin Bu. Terimakasih”. Bersalaman dengan Ibunya dan mencium tangannya.
“Sama-sama, assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam.” Jawab anaknya.
Ibunya pun kemudian menggendong jamunya, dan keluar dari rumah sambil berkata “bismillah, berikan rezeki untuk kelurga hambamu ini Ya Allah.” Dengan tangan menengadah dan mengusapkannya ke muka.
Hari pun masih gelap, matahari belum muncul dari ufuknya. Tetapi sudah ada suara ayam yang ikut mengiringi langkah kakinya. Perlahan Bi Inem berjalan sambil mulai berteriak menjajakan jamunya, “jamu-jamu, jamunya Mas, Mbak”. Semakin pagi ia mempercepat langkahnya untuk pergi pasar, karena cepatnya gesekan sandalnya terdengar jelas. Di jalan satu-persatu pelanggan berdatangan.
“Beli jamu Bi.” Sapa akrab salah satu pembeli.
“Mau jamu yang bagamaina?”
“Seperti biasa aja lah.”
“Tidak mencoba produk baru saya, Bu Dahlia?”
“Jamu apa Bi?”
“Ini saya iseng-iseng buat jamu isotonik, jamu pucuk, dan satu lagi ada jamu gelas. Boleh dicoba, nanti kalo nggak enak enggak usah bayar”
“Boleh tu Bi, nyoba jamu pucuknya satu ya.”
“Iya ini, silakan.”
“Wah bener Bi, memang jamu Bi Inem itu nomer satu deh, rugi kalo pada beli di supermaket-supermaket.”
“Ibu itu bisa aja.”
“Ini buktinya aku langsung habis, satu lagi jamu kunir asemnya dibungkus ya Bi.”
Dengan segera Bi Inem membungkuskan jamu kunir asemnya, dan menyerahkannya ke Bu Dahlia .
“Ini berapa Bu?”
“Seperti biasa tiga ribu rupiah saja.”
“Ini Bu, tidak usah kembaliannya.” sembari menyerahkan uang Rp 5.000,00.
“Terimakasih ya Bu.”
“Sama-sama Bi.” Sambil berjalan meninggalkan Bi Inem.
Setelah itu Bi Inem melayani pelanggan yang lain. Akan tetapi tidak seperti biasanya, yang membeli jamunya hanya sedikit. Dalam pikirannya mungkin tidak sempat membeli karena sibuk. Tetapi Bi Inem tidak putus asa ia tetap semangat untuk menjajakan jamunya ke pasar.
            Sesampainya di pasar ia telah disapa oleh penjual-penjual yang lain. Kemudian Bi Inem menata botol jamu-jamu mungilnya di tempat biasanya ia berjualan. Sedikit demi sedikit pembeli datang, akan tetapi lama-kelamaan semakin sepi yang menghampirinya untuk membeli. Karena hari semakin siang, ia berniat untuk berkeliling seperti biasanya. Di rapikannya botol-botol mungilnya dan digendongnya. Ia mulai berjalan dengan sedikit kelelahan dan peluh yang menetes dari kepalanya. Jalan beraspal, berbatu, bergelombang, bahkan bergunung pun ia telah lewati, tetap saja tak kunjung habis jamu gendongnya. Terik matahari semakin menyengat tubuhnya, tetapi ia terus berjalan dan tak menyerah. Menurutnya, berpanas-panas lebih enak daripada mengerjakan soal seperti anak-anak pelajar. Semakin siang ia mulai bingung mau menjajakan ke mana lagi jamu gendongnya. Kemudian ia memiliki ide untuk berjualan di sekolah anaknya yaitu SD N 1 Esok Sore.
Sesampainya di sana, ia merasa bingung kembali mau menjajakan jamunya dengan cara yang bagaimana hingga akhirnya ada salah satu guru mendekatinya.
“Masih Bi jamunya?”
“Iya-iya Bu, masih.”
“Pesan satu jamu kunir asemnya ya Bi”.
“Ini Bu, silakan.”
Dari yang tadinya satu menjadi banyak guru-guru yang ingin dibuatin jamu Bi Inem. Karena guru yang tadinya beli bilang kalo jamunya enak dan sehat. Karena banyaknya guru yang memesan sampai-sampai ada yang tidak menerima bagian dikarenakan sudah ludes terpesan. Karena masih banyak guru yang belum mendapatkan jamunya, ia mulai bingung lagi. Kemudian ia baru teringat kalau kakaknya juga berjualan jamu gendong tetapi hanya menetap di pasar. Bi Inem mengeluarkan ponsel berlayar kuning dan mulai mengirim sms kepada kakaknya yang bernama B. J. Habibi. Dengan segera B. J. Habibi (Bakul Jamu Habibi) membalas, yang mana balasannya akan segera dikirim via gendong. Tak lama kemudian kirimannya pun datang. Setelah semuanya laku terjual Bi Inem pun bergegas membereskan botol jamu-jamunya yang berserakan dan segera pulang.
Sesampainya di rumah ia meletakkan keranjangnya dan ia bersandar di kursi depan rumahnya. Dalam hati ia bersyukur atas limpahan rezeki yang telah diterimanya hari ini. Tetapi tak lama kemudian ada sesosok orang yang mengagetkannya dari lamunannya. Orang itu tak lain ialah Lika anak semata wayangnya.
“Assalamu’alaikum.” dengan muka yang lesu dan cemberut.
“wa’alaikumsalam, kenapa cemberut nak?”
“Ibu tadi jualan ke mana saja Bu?” dengan suara yang agak keras.
“Tadi Ibu sampai ke sekolahan mu tetapi Ibu tidak melihat kamu. Memang kenapa?”
“Tadi di kelas aku jadi bahan ejekan gara-gara Ibu sampai ke sekolahku. Apa Ibu nggak memikirkan perasaan ku?” Berlari cepat menuju kamarnya sambil membanting pintu kamarnya.
Bi Inem langsung mengejar anaknya, tetapi kalah cepat dengan anaknya. Akhirnya ia mengetok-ngetok pintu kamar anaknya, namun tak kunjung dibuka pintunya. Hanya suara tangis yang terdengar dari kamar anak itu. Bi Inem pun ikut menangis dan ia hanya berkata
“Maafkan Ibu Nak, besok Ibu tidak akan berjualan ke sekolahmu lagi. Sekali lagi maafkan Ibu Nak.”
Akan tetapi Lika tak mengeluarkan suara sedikitpun. Hingga akhirnya Bi Inem beranjak meninggalkannya menuju ke kursi yang ada di depan kamar Lika. Ia menunggui sampai anaknya mau keluar, alhasil sampai maghrib pun tak kunjung keluar. Bi Inem mencoba lagi untuk menawarinya makan dan akhirnya Lika pun mau membukakan pintu. Di ruang makan mereka duduk berdua tanpa saling bertatap-tatapan, suara pun tak dikeluarkannya dari mulut mereka berdua. Hanya suara jangkrik mengerik yang mengisi suasana malam pada waktu itu. Setelah makan pun Lika langsung menuju kamarnya, dan tak berkata sedikitpun. Di dalam kamar Lika hanya melanjutkan menangis dan menangis karena malu denga teman-temannya. Tetapi lama-kelamaan, ia mulai berpikir dan bergumam “Bagaimana perasaan Ibu sekarang ya? Dari tadi aku tidak berbicara sedikitpun. Padahal biasanya kita berada selalu bersama-sama menjalani kehidupan yang penuh dengan liku-liku ini.” Lama-kelamaan ia menyesali perbuatannya, dan berniat untuk minta maaf esok hari. Tetapi tetap saja ia tidak tenang malam itu. Akhirnya ia memberanikan diri meminta maaf malam itu juga meski hari sudah larut malam. Ia membuka pintu kamarnya dan dilihatnya Ibunya masih duduk di kursi makan yang tadi.
“Bu?
“Iya anakku, kamu masih marah ya sama Ibu? Maafin Ibu Nak.”
“Seharusnya aku yang meminta maaf sama Ibu, sikapku sungguh keterlaluan terhadap Ibu. Maafin Lika ya Bu.”
“Iya Nak, tanpa meminta maaf pun Ibu sudah memaafkanmu.” Sembari memeluk anaknya.
Pada malam itu juga Bi Inem dan anak semata wayangnya tidak ingin marahan karena hal yang sepele seperti itu lagi. Dan Lika pun tidak akan melarang Ibunya untuk berjualan di sekolahannya. Mereka pun menjadikan malam itu sebagai ujian yang diberikan oleh Allah. “THE END”
Tema               : Kehidupan seorang penjual jamu nomaden.
Fiksi                :

  •   Dalam berjualan Bi Inem harus bermata empat
  • Iseng-iseng buat jamu isotonik, jamu pucuk, dan jamu gelas 
  • Dalam berjualan Bi Inem melewati jalan bergunung
  • Memiliki ide untuk berjualan di sekolah anaknya yaitu SD N 1 Esok Sore
  • Bi Inem mengirim sms kepada kakaknya yang bernama B. J. Habibi.
  • Jamunya akan dikirim melalui via gendong
Non Fiksi        :
  • Gemericik air hujan gerimis membangunkan Bi Inem
  • Bi Inem mempersiapkan bahan-bahan minuman jamu yang akan dijual pagi-pagi nanti 
  • Dia menumbuk sendiri kunyit, kencur, asem, daun sambiloto, dan beras 
  • Dalam berjualan jamu Bi Inem diwarisi oleh Ibunya yang dulu berjualan
  • Untuk menyekolahkan anaknya Bi Inem harus utang ke sana kemari 
  • Bi Inem membangunkan anaknya, dengan lembut penuh kasih sayang
  • Bi Inem dalam berjualan pun harus menggendong jamunya 
  • Menjajakan jamunya dengan berteriak-teriak “jamu-jamu”
  • Bi Inem menata botol jamu-jamu mungilnya di tempat biasanya ia berjualan

No comments:

Post a Comment